DEBU CINTA
Senin, 25 Mei 2009
  DEBU CINTA
border="0" />

Aku tidak alergi pada pria. Aku hanya alergi pada perjodohan. Kapan aku mendapat terpaan debu cinta yang telah dijanjikan?


DI SEBUAH GEDUNG PERTUNJUKAN….
Rati duduk di kursi penonton. Ia menatap ke arah panggung di depannya. Panggung itu sudah hampir siap. Layar putih telah di gantungkan di belakangnya. Sebuah pintu masuk rumah Bali yang di sebut angkul – angkul, dalam ukuran kecil dan berukiran khas Bali, berdiri ditengah kanan panggung, dihiasi kain poleng, kain bercorak kotak – kotak hitam putih , dan bunga kamboja putih. Sebuah undak – undakan, symbol batu besar tempat bertapa, telah di sulap hadir di bagian kiri panggung. Ranting meranggas menaungi batu. Pokok – pokok ranting kecil lain, berhias kamboja putih pada pucuk – pucuknya, berbaris acak melatarbelakangi panggung.

Sign up for PayPal and start accepting credit card payments instantly.

Panggung yang cantik. Sederhana, namun memukau. Esok di atas panggung itu, pementasan besar tari Legong Semarandana akan digelar. Kisah terbakarnya pasangan dewa – dewi asmara, Dewa Kamanjaya dan Dewi Ratih, akan dikemas dalam rangkaian gerak tarian klasik dari Pulau Dewata.
Seusai gladi bersih yang melelahkan, Ratih duduk di kursi penonton, bersandar memandang ke arah panggung. Esok di atas panggung itu, ia akan menjelma menjadi sang dewi asmara, Dewi Ratih.

ESOK HARINYA, DI BELAKANG PANGGUNG….
Rati bercermin, menatap wajahnya di kaca. Cantik, kata orang. Ayu, seperti namanya, Ni Made Ayu Sekar Rati. Di cermin, ada wajah bundar bermata bulat yang selalu berbinar. Rambut hitam, yang panjangnya melewati bahu, kini tampak tergelung. Kerut halus mulai tampak samar di sudut – sudut mata dan bibir, suatu tanda bahwa pemiliknya kerap tersenyum, sekaligus pertanda pertambahan usia. Di cermin yang besar itu tampak wajah khas wanita Bali yang cantik di usia menjelang tiga puluh .



“Rati!“
Rati mendengar namanya dipanggil. Ia menghentikan goresan pensil alis di tangannya dan menolehkan kepala ke arah pintu, jauh di sebelah kanan. Rati melihat seorang wanita, yang wajahnya tak asing lagi, melambaikan tangan dan tersenyum padanya. Wanita itu berjalan perlahan menghampiri kursinya.
“Dewi, kau masih saja datang,”ucap Rati pada Dewi, sahabatnya ketika masih kuliah dulu.
“Aku baru hamil enam bulan, Rati. Tentu saja aku masih boleh jalan – jalan.Apalagi, malam ini. Aku tidak akan melewatkannya,”kata Dewi,sambil mengamati sekitarnya.”Boleh, kan, aku duduk di sini?”Tanya Dewi.
Rati mengangguk.”boleh saja. Duduk saja di sini, disebelahku,”ujar Rati, sambil menunjuk kursi plastic kosong di dekatnya.
“Kau dating bersama Dadi,”Tanya Rati.
“Ya, pasti dong. Masa sih, ia tega membiarkan istri dan calon anaknya berpergian sendiri,”ujar Dewi, sambil mengelus – elus perutnya yang sudah tampak besar.
“Mana dia,”Tanya Rati.
“Ia menunggu di luar. Merokok. Rikuh, katanya. Kau berhias sendiri, Rati?”Tanya Dewi, sambil mengamati sahabatnya. Rati sudah mengenakan kain dan pakaian menarinya yang berwarna hijau keemasan. Ia juga sudah mengenakan hiasan wajah, yang kini sedang dirapikannya.
“Sebenarnya, ada perhias.”Rati menunjuk ke beberapa perhias yang terlihat sibuk bekerja, merias para penari, baik pria maupun wanita.”Tapi, aku lebih senang berdandan sendiri. Lagi pula, biarlah mereka membantu anak – anak yang lain.”
Dewi melihat dan mengamati ruang belakang panggung itu. Terlihat kesibukan di sekelilingnya. Beberapa penari wanita yang belum berganti pakaian sedang didandani. Terlihat beberapa penari pria. Mereka juga ikut di dandani. Terlihat beberapa penari yang telah berhias, terlihat saling bantu merapikan pakaian.
“Kau yang paling senior, ya?” Tanya Dewi pada Rati.
Rati berhenti berdandan sejenak, tersenyum, sambil memandang bayangan wajah sahabatnya di cermin.”Tepatnya, sih,aku termasuk yang paling tua.”
“Kau teruskan saja riasanmu itu, Rati. Aku paling senang mengamatimu saat berdandan,”ujar Dewi.”
“Sudah hampir selesai, kok. Aku Cuma sedang merapikan alis. Sekarang tinggal memasang bija,”Rati terus berbicara, namun tangannya tetap saja bekerja, menggambar bija, titik putih di tengah keningnya, diantara dua matanya.
“Kau masih saja cantik, Rati. Seperti dulu,”kata Dewi memuji sahabatnya.
“Kau juga cantik, calon ibu.”
“Basa – basi. Aku gembrot kayak gini, kok.”
“Dewi, aku tidak basa – basi. Kau calon ibu yang cantik. Dari jauh saja aku bisa melihat wajahmu yang kelihatan bersinar. Kau terlihat sangat cantik.”
Rati kemudian berdiri, mengambil setumpuk pernak – pernik pakaian tari.”Nah, karena kau ada di sini, kau bisa jadi asistenku untuk memakaikan pernak – pernik ini,”kata Rati, sambil tertawa. Rati lalu menunjukkan pada Dewi cara memasang semua pernak – pernik itu, dari tutup dada, hiasan pinggang, gelang lengan, hingga gelung kepala.
“Ibumu tidak datang, Rati?”Tanya Dewi, sambil berdiri membantu Rati memasang penutup dada dari kulit berhias prada.
“Tidak, merepotkan sekali harus terbang dari Bali ke Jakarta, hanya untuk menyaksikan aku menari. Aku sudah terlalu sering menari. Sudah tidak terlalu penting lagi.”
“Tapi kali ini, kan, berbeda, Rati. Ini adalah pertunjukan besar. Kali ini kau menari di gedung kesenian yang paling terkenal di Jakarta,”bantah Dewi.
“Baginya sama saja, Dewi. Lagi pula, ia juga dulu penari. Baginya, ini bukan hal yang sangat istimewa.”Rati sejenak menghela napas.”Selain itu, mungkin ia masih marah padaku. Minggu lalu aku meneleponnya, ingin mengundangnya datang ke Jakarta. Hanya saja telpon itu berakhir dengan pertengkaran,”lanjut Rati kemudian.
“Ada apa lagi?”Dewi bertanya. Tangannya sibuk memasangkan semacam gelang pada lengan Rati.
“Ia mencoba mengenalkanku pada seorang pria Bali yang lain lagi. Aku menolaknya.”
Dewi tertawa,”kenapa kau begitu alergi pada pria Bali?”
“Bukan begitu. Dengar, aku tidak alergi pada pria Bali, sama sekai tidak. Aku hanya alergi pada usaha perjodohan itu.”
“Ibumu, kan, hanya ingin yang terbaik bagimu.Ia ingin agar kau bias mendapatkan jodoh yang punya keyakinan sama denganmu. Ia ingin kau melupakan fajar. Melupakan kisah cintamu dengan fajar, yang kau tau sendiri, memang tak akan menuju kemana – mana, mengingat segala perbedaan itu.” readmore......


 

Arsip
Mei 2009 /


Powered by Blogger

Berlangganan
Postingan [Atom]